PENDIDIKAN MEMANG HARUS "MAHAL"
Halaman 1 dari 1
PENDIDIKAN MEMANG HARUS "MAHAL"
Siklus pembelajaran di sekolah terus berputar. Tahun pelajaran 2007/2008 segera lewat diganti dengan tahun ajaran 2008/2009. Sebuah upaya untuk memajukan pendidikan di Indonesia terus bergulir seiring dengan perjalanan waktu yag tak pernah berhenti.
Hiruk pikuk pengumuman kelulusan siswa kelas 3 akan segera tersaji pada hari Sabtu tanggal 14 Juni 2008. Momen indah bagi yang lulus dan momen menyedihkan bagi yang tidak lulus.
Setelah kelulusan episode selanjutnya adalah Penerimaan Peserta Didik (PPD) mulai tanggal 28 Juni 2008 - 2 Juli 2008. Momen ini juga tidak kalah menariknya karena menentukan nasib anak masuk sekolah yang diminati atau tidak.
Hampir setiap tahun, wacana yang berkembang pada pelaksanaan PPD adalah pendidikan semakin mahal, terjadi komersialisasi pendidikan dan pendidikan hanya untuk orang berduit. Berita koran setiap pagi membahas pendidikan mahal, Televisipun tidak kalah dengan menampilkan talkshow, bincang-bincang atau liputan yang memberi penegasan kepada masyarakat bahwa sekolah itu mahal.
Opini yang berkembang di masyarakat lebih gila lagi. Guru menjadi sasaran empuk kritik tetangganya yang hendak memasukkan anaknya ke sekolah. Istilah yang muncul antara lain : “wah enak ya guru lagi panen”, “enaknya jadi guru sekarang bayarannya gede” dan istilah lainnya yang membuat panas telinga. Cibiran, sindiran dan celotehan yang masuk ke telinga bapak dan ibu guru membuat kami menjadi pesakitan tanpa pembelaan.
Tergerak dari kondisi itulah, saya buat tulisan ini sebagai wacana pembanding dan syukur bisa diterima oleh masyarakat. Judul yang saya buat terkesan provokatif karena masyarakat memandang sekolah adalah lembaga sosial. Pandangan ini menyebabkan opini yang berkembang di masyarakat, sekolah adalah lembaga sosial yang butuh sumbangan, sehingga yang terjadi dana untuk membiayai pendidikan di sekolah sebatas kemampuan menyumbangnya (sukarela). Maka yang terjadi tunggakan uang sekolah yang besar untuk waktu yang lama.
Ketika saya menjadi wali kelas, ada murid saya tidak bisa mengambil raport karena mempunyai tunggakan banyak. Sampai hari masuk sekolah setelah libur semesteran, si anak belum juga masuk sehingga saya berinisiatif untuk melakukan home visit. Bayangan awal saya, rumah si anak ini jelek dan sempit dengan perabot apa adanya. Tetapi ketika masuk ke rumahnya, hilang sudah bayangan rumah jelek dan sempit tadi. Di rumahnya tersaji TV, VCD Player, Kipas angin dan perabotan elektronik lain. Pemandangan ini kontras sekali dengan tunggakan SPP yang harus dibayar ke sekolah.
Gambaran di atas memberikan satu pembelajaran bahwa orang tua lebih suka beli TV, HP, VCD Player, jalan-jalan di mall dan pola konsumtif lainnya dibanding untuk membiayai sekolah.
Oleh karena itu melalui tulisan ini demi kemajuan sekolah dan pendidikan Indonesia pada umumnya, mulailah kita berpikir bahwa sekolah bukanlah lembaga sosial yang hidup dari sumbangan sukarela, tetapi sekolah adalah lembaga profit yang menghasilkan keuntungan. Jika menjadi lembaga profit, sekolah akan dikelola secara profesional seperti badan usaha. Jangan lagi sekolah disibukkan dengan surat keterangan tidak mampu yang kadang tidak benar. Jika jelas orang tua tidak mampu harus dibuktikan dengan survey ke rumah orang tua murid yang bersangkutan. Hasil survey jauh lebih valid dibanding surat keterangan. Ingin membaca tulisan yang lain, silahkan kunjungi di www.ardansirodjuddin.wordpress.com
Hiruk pikuk pengumuman kelulusan siswa kelas 3 akan segera tersaji pada hari Sabtu tanggal 14 Juni 2008. Momen indah bagi yang lulus dan momen menyedihkan bagi yang tidak lulus.
Setelah kelulusan episode selanjutnya adalah Penerimaan Peserta Didik (PPD) mulai tanggal 28 Juni 2008 - 2 Juli 2008. Momen ini juga tidak kalah menariknya karena menentukan nasib anak masuk sekolah yang diminati atau tidak.
Hampir setiap tahun, wacana yang berkembang pada pelaksanaan PPD adalah pendidikan semakin mahal, terjadi komersialisasi pendidikan dan pendidikan hanya untuk orang berduit. Berita koran setiap pagi membahas pendidikan mahal, Televisipun tidak kalah dengan menampilkan talkshow, bincang-bincang atau liputan yang memberi penegasan kepada masyarakat bahwa sekolah itu mahal.
Opini yang berkembang di masyarakat lebih gila lagi. Guru menjadi sasaran empuk kritik tetangganya yang hendak memasukkan anaknya ke sekolah. Istilah yang muncul antara lain : “wah enak ya guru lagi panen”, “enaknya jadi guru sekarang bayarannya gede” dan istilah lainnya yang membuat panas telinga. Cibiran, sindiran dan celotehan yang masuk ke telinga bapak dan ibu guru membuat kami menjadi pesakitan tanpa pembelaan.
Tergerak dari kondisi itulah, saya buat tulisan ini sebagai wacana pembanding dan syukur bisa diterima oleh masyarakat. Judul yang saya buat terkesan provokatif karena masyarakat memandang sekolah adalah lembaga sosial. Pandangan ini menyebabkan opini yang berkembang di masyarakat, sekolah adalah lembaga sosial yang butuh sumbangan, sehingga yang terjadi dana untuk membiayai pendidikan di sekolah sebatas kemampuan menyumbangnya (sukarela). Maka yang terjadi tunggakan uang sekolah yang besar untuk waktu yang lama.
Ketika saya menjadi wali kelas, ada murid saya tidak bisa mengambil raport karena mempunyai tunggakan banyak. Sampai hari masuk sekolah setelah libur semesteran, si anak belum juga masuk sehingga saya berinisiatif untuk melakukan home visit. Bayangan awal saya, rumah si anak ini jelek dan sempit dengan perabot apa adanya. Tetapi ketika masuk ke rumahnya, hilang sudah bayangan rumah jelek dan sempit tadi. Di rumahnya tersaji TV, VCD Player, Kipas angin dan perabotan elektronik lain. Pemandangan ini kontras sekali dengan tunggakan SPP yang harus dibayar ke sekolah.
Gambaran di atas memberikan satu pembelajaran bahwa orang tua lebih suka beli TV, HP, VCD Player, jalan-jalan di mall dan pola konsumtif lainnya dibanding untuk membiayai sekolah.
Oleh karena itu melalui tulisan ini demi kemajuan sekolah dan pendidikan Indonesia pada umumnya, mulailah kita berpikir bahwa sekolah bukanlah lembaga sosial yang hidup dari sumbangan sukarela, tetapi sekolah adalah lembaga profit yang menghasilkan keuntungan. Jika menjadi lembaga profit, sekolah akan dikelola secara profesional seperti badan usaha. Jangan lagi sekolah disibukkan dengan surat keterangan tidak mampu yang kadang tidak benar. Jika jelas orang tua tidak mampu harus dibuktikan dengan survey ke rumah orang tua murid yang bersangkutan. Hasil survey jauh lebih valid dibanding surat keterangan. Ingin membaca tulisan yang lain, silahkan kunjungi di www.ardansirodjuddin.wordpress.com
Similar topics
» "kau", "dia" & "mereka" PACARKU
» beRmain siMboL "cErita daRI neGeri doNgeng"
» WASPADAI GELAGAT "SI DIA" MULAI BERPALING...
» SEL!NGKUH "wanita Pemain cinta?"
» "Kehancuran diriku"
» beRmain siMboL "cErita daRI neGeri doNgeng"
» WASPADAI GELAGAT "SI DIA" MULAI BERPALING...
» SEL!NGKUH "wanita Pemain cinta?"
» "Kehancuran diriku"
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik